
Pada Rabu pagi yang cerah, 12 November 2025, suasana Posyandu Sentosa 1 di Desa Kaliwlingi tampak lebih ramai dari biasanya. Para ibu balita mulai berdatangan sambil menggendong anak-anak mereka, sementara para kader posyandu mempersiapkan meja dan alat peraga edukasi gizi. Di tengah dinamika desa pesisir yang akrab dengan semilir angin dan suara perahu nelayan, kegiatan pengabdian masyarakat dari Program Studi Gizi Universitas Muhadi Setiabudi (UMUS) Brebes menjadi momen penting yang sangat dinantikan.
Kegiatan ini dipimpin oleh dua dosen Prodi Gizi, Sulasyi Setyaningsih dan Yuniarti Dewi Rahmawati, yang sejak awal memiliki perhatian besar terhadap isu gizi anak di wilayah pesisir. Dengan mengusung tema “Edukasi dan Pembuatan Siklus Menu Sehat dan Bergizi Seimbang untuk Balita Prasejahtera,” program ini dirancang sebagai jawaban atas tantangan-tantangan gizi yang masih membayangi masyarakat Kaliwlingi.
Realitas Gizi Balita di Pesisir Kaliwlingi
Desa Kaliwlingi adalah kawasan yang kaya sumber daya laut, tetapi tidak semua keluarga memiliki akses merata terhadap pangan bergizi. Keterbatasan ekonomi, minimnya variasi konsumsi harian, dan rendahnya pengetahuan gizi membuat sebagian balita berisiko mengalami gizi kurang maupun stunting. Para dosen UMUS melihat kondisi ini bukan sekadar angka statistik, tetapi sebagai panggilan nyata untuk hadir dan memberi perubahan.
“Sering kali masalah gizi bukan karena tidak ada bahan pangan, tetapi karena pengetahuan dan kebiasaan konsumsi yang belum tepat,” ungkap salah satu kader saat sesi diskusi. Pernyataan sederhana itu menjadi refleksi bagaimana edukasi gizi sangat diperlukan di masyarakat.

Membangun Pemahaman: Gizi Seimbang yang Sederhana dan Terjangkau
Dalam sesi awal, para dosen memberikan edukasi tentang prinsip gizi seimbang dengan pendekatan yang komunikatif dan mudah dipahami. Ibu-ibu diajak memahami kebutuhan zat gizi anak sesuai usia, pentingnya variasi warna makanan, serta cara memilih bahan pangan murah namun tetap bernutrisi.
Sulasyi menjelaskan, “Gizi seimbang bukan soal makanan mahal. Yang terpenting adalah bagaimana ibu-ibu bisa memadukan bahan lokal dengan tepat agar anak mendapatkan nutrisi lengkap.” Peserta terlihat antusias; beberapa ibu bahkan menanyakan apakah ikan kecil hasil sampingan tangkapan laut bisa menjadi sumber protein untuk MP-ASI—sebuah bukti bahwa edukasi benar-benar menyentuh kebutuhan mereka.
Menyusun Siklus Menu 10–14 Hari: Dari Desa, untuk Balita Desa
Sesi selanjutnya adalah kegiatan yang paling ditunggu: pendampingan menyusun siklus menu 10–14 hari. Dengan kertas warna-warni, daftar bahan pangan lokal, dan panduan porsi balita, para peserta bersama dosen merancang menu yang realistis dan aplikatif.
Menu yang disusun memperhatikan:
- ketersediaan pangan lokal Kaliwlingi,
- daya beli keluarga prasejahtera,
- kebutuhan energi dan protein balita, serta
- variasi rasa dan tekstur agar anak tidak mudah bosan.
Dalam suasana penuh keakraban, ibu-ibu berdiskusi merancang menu mulai dari bubur ikan lokal, tumis sayur sederhana, hingga camilan berbasis buah. Kegiatan ini bukan hanya bersifat top-down, tetapi menjadi ruang kolaboratif antara dosen, kader, dan masyarakat.
Kegiatan kemudian berlanjut pada sesi praktik. Para dosen menunjukkan cara mengolah MP-ASI rumahan yang sederhana namun bernilai gizi tinggi. Peserta mencoba membuat bubur ikan lokal yang lembut, perkedel tempe sayur, dan puding buah tanpa tambahan gula. Aroma masakan memenuhi ruangan posyandu, sementara para ibu memperhatikan setiap langkah dengan saksama.
“Begini ternyata cara membuat MP-ASI yang benar, tidak terlalu encer dan tetap kaya rasa,” ujar salah satu peserta sambil tersenyum. Bagi banyak ibu, ini bukan sekadar pelatihan, tetapi pengalaman yang membuka wawasan baru.
Harapan yang Ditanamkan dari Sebuah Kegiatan Sederhana
Di akhir kegiatan, Sulasyi dan Yuniarti menekankan pentingnya keberlanjutan. Mereka berharap materi yang telah diberikan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi bekal bagi para kader dalam menjalankan tugasnya.
Kepala Posyandu Sentosa 1 memberikan apresiasi mendalam, menyebut kegiatan ini sebagai langkah strategis untuk mengurangi risiko gizi buruk pada balita di desa pesisir. Ia berharap UMUS dapat terus mendampingi masyarakat agar perubahan perilaku gizi dapat berlangsung secara konsisten.
Komitmen UMUS: Membangun Kesehatan dari Akar Rumput
Program Studi Gizi UMUS Brebes menegaskan bahwa pengabdian masyarakat seperti ini bukanlah kegiatan seremonial, melainkan wujud nyata komitmen akademisi dalam membangun kesehatan dari akar rumput. Di tengah tantangan gizi yang masih menghantui beberapa wilayah, kehadiran perguruan tinggi sebagai mitra perubahan sangatlah penting.
Edukasi, penyusunan menu, dan pelatihan pengolahan pangan sederhana hanyalah langkah awal. Namun dari langkah kecil itu, tumbuh harapan besar: balita Kaliwlingi tumbuh lebih sehat, kuat, dan memiliki masa depan yang lebih cerah berkat peran bersama antara masyarakat dan dunia pendidikan.